Purwokerto, kota yang kini menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Kabupaten Banyumas, terus menunjukkan peran pentingnya dalam dinamika wilayah barat daya Jawa Tengah. Meskipun berstatus sebagai kota non-otonom, Purwokerto berhasil berkembang menjadi simpul utama yang menghubungkan jalur selatan Pulau Jawa dengan berbagai destinasi wisata pegunungan, seperti Dieng dan Baturraden.
Masyarakat Purwokerto mewarisi dua versi cerita yang menjelaskan asal-usul nama kota ini. Versi pertama menyebutkan bahwa nama Purwokerto muncul dari keberadaan batu kuno yang dikenal sebagai Makam Astana Dhuwur Mbah Karta, yang berada di wilayah Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur. Warga meyakini bahwa batu tersebut berasal dari reruntuhan candi dan digunakan oleh masyarakat untuk membangun bendungan Sungai Pelus.
Nama Karta mengacu pada sosok Mbah Karta, yang dipercaya melambangkan perkembangan atau sesuatu yang sedang dikerjakan. Dari makna tersebut, nama Purwokerto diartikan sebagai tempat awal yang sedang tumbuh atau berkembang.
Sementara versi kedua mengaitkan nama Purwokerto dengan dua kerajaan kuno, yakni Purwacarita dan Kertawibawa. Masyarakat Banyumas kemudian menggabungkan kedua nama tersebut untuk menciptakan Purwokerto, yang juga berfungsi membedakannya dari kota Purwakarta di Jawa Barat. Dalam keseharian, masyarakat juga menyebutnya dengan variasi lokal seperti Puraketa, Praketa, atau Prakerta.
Adipati Mertadireja II mendirikan Kadipaten Purwokerto pada 6 Oktober 1832. Saat itu, ia memilih Desa Peguwon yang berada di sekitar Sungai Pelus sebagai pusat pemerintahan. Namun, situasi berubah ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil alih administrasi dan memutuskan untuk menggabungkan Kadipaten Purwokerto dengan Ajibarang pada 1 Januari 1836.
Penggabungan tersebut sekaligus memindahkan pusat pemerintahan ke Banyumas. Meskipun tidak lagi menyandang status ibu kota kadipaten, Purwokerto tetap berkembang sebagai kawasan yang strategis, terutama dalam mendukung aktivitas perdagangan, budaya, dan pendidikan.
Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menunjuk arsitek Herman Thomas Karsten untuk merancang tata ruang kota Purwokerto. Karsten merancang kota ini dengan konsep urban modern yang memadukan kebutuhan pemukiman, ruang terbuka hijau, infrastruktur, serta fasilitas publik.
Karsten tidak hanya menata ulang kota, tetapi juga menghadirkan identitas baru yang memperhatikan keseimbangan antara ruang manusia dan ruang alam. Sampai saat ini, masyarakat masih bisa menyaksikan jejak perencanaan Karsten di beberapa kawasan penting seperti alun-alun, jalan protokol, dan pusat perdagangan.
Kini, Purwokerto dikenal sebagai kota pelajar. Ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia datang untuk menimba ilmu di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), yang menjadi ikon pendidikan tinggi di kota ini. Selain Unsoed, Purwokerto juga memiliki banyak institusi pendidikan lainnya yang menjadikan kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, masyarakat terus merawat dan menghidupkan budaya Banyumasan. Kesenian lokal seperti calung, lengger, dan wayang kulit gaya Banyumas sering tampil dalam berbagai pentas seni dan festival daerah. Komunitas seniman lokal pun aktif mempromosikan budaya tersebut ke generasi muda maupun wisatawan.
Sektor kuliner juga berkontribusi besar terhadap identitas kota. Pengunjung dari luar daerah selalu mencari hidangan khas seperti mendoan hangat, sroto khas Banyumas, hingga gethuk goreng. Para pelaku UMKM kuliner pun memanfaatkan peluang ini untuk terus mengembangkan produk lokal.
Meski tidak berstatus sebagai kota otonom, Purwokerto berhasil menunjukkan kemandiriannya dalam berbagai sektor. Pemerintah daerah terus membangun infrastruktur, memperluas kawasan bisnis, dan menjaga identitas budaya lokal tetap hidup di tengah modernisasi.
Keunikan Purwokerto terletak pada kemampuannya memadukan warisan sejarah, pengaruh kolonial, serta semangat lokal Banyumasan menjadi satu kesatuan yang dinamis. Kota ini mencerminkan bahwa status administratif bukanlah batas dalam menciptakan kemajuan.
Perjalanan sejarah Purwokerto, dari kadipaten kecil hingga menjadi kota strategis, menunjukkan bagaimana sebuah wilayah bisa tumbuh dan berkembang meski tanpa status otonomi. Identitas Banyumasan yang kuat, semangat masyarakat yang gigih, dan perencanaan kota yang matang menjadi kunci utama dalam mendorong kemajuan Purwokerto hingga hari ini.
Kini, masyarakat mengenal Purwokerto bukan hanya karena nilai sejarahnya, tetapi juga karena potensinya sebagai pusat pendidikan, budaya, dan pariwisata. Pemerintah daerah bersama masyarakat terus menjaga harmoni antara kearifan lokal dan tantangan modernitas.
Melihat kiprah dan peran strategis yang terus berkembang, Purwokerto layak dipandang sebagai kota masa depan bagi Jawa Tengah. Kota ini bukan hanya mencatat sejarah, tetapi juga menyusun arah baru menuju kemajuan yang berkelanjutan.
Ingin mengenal tempat wisata dan kuliner lebih dalam?
Kunjungi sudutinfo dan ngabari untuk informasi lengkap seputar destinasi wisata, budaya, dan kuliner!