Halo, Tuan. Ada makanan yang hadir bukan hanya sebagai pengisi perut, tetapi juga penghangat suasana. Wedang ronde salah satunya. Semangkuk wedang ronde punya daya pikat yang sulit di tolak kuah jahe yang mengepul, bulatan ronde yang kenyal manis, isian kacang garing, serta taburan bahan pelengkap yang membentuk orkestra rasa sederhana namun mendalam. Dalam setiap sendoknya tersimpan tradisi panjang yang lintas batas waktu, menjaga keaslian rasa sekaligus memberi ruang pada pertemuan berbagai generasi.

Wedang ronde lahir dari warisan budaya Tionghoa yang kemudian membaur menjadi minuman tradisional khas Nusantara
Wedang ronde berakar dari “tang yuan”, sajian bola ketan yang di rebus dalam kuah manis. Ketika hadir di Nusantara, terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, sajian ini mengalami penyesuaian besar pada kuahnya. Jahe menjadi elemen utama, bukan sekadar bumbu, tetapi identitas. Kuah jahe yang pedas aromatik memberi kontras elegan pada ronde yang cenderung manis. Tradisi lokal juga menambahkan bahan-bahan seperti kolang-kaling, kacang sangrai, potongan roti tawar, hingga sagu mutiara. Hasilnya adalah minuman dengan lapisan rasa bertingkat pedas dari jahe, manis yang lembut, gurih kacang, serta tekstur pelengkap yang membuat pengalaman menyantapnya lebih hidup.
Filosofi wedang ronde pun menarik. Ia kerap hadir saat malam hari, ketika udara menurun dan orang-orang berkumpul selepas aktivitas. Ada makna kehangatan, saling berbagi cerita, dan merawat kebersamaan. Karena itu, wedang ronde sering di pilih sebagai teman berbincang di angkringan, pasar malam, hingga warung tradisional yang buka sampai larut. Ronde yang bulat pun di maknai sebagai simbol keutuhan dan harapan akan kesinambungan, seperti lingkar cerita yang tidak putus.

Kualitas wedang ronde sejatinya bisa di ukur dari dua aspek yang paling menentukan: kuah dan adonan ronde. Jahe untuk kuah sebaiknya jahe emprit jenis jahe dengan aroma tajam dan sensasi hangat yang lebih kentara. Jahe di geprek lalu di rebus perlahan bersama gula aren atau gula merah untuk mendapat manis yang tidak “menodil” lidah, melainkan merayap halus sebagai penyeimbang. Rempah opsional seperti serai atau daun pandan kadang hadir, tetapi tidak boleh menenggelamkan aroma jahe itu sendiri. Sementara ronde di buat dari tepung ketan yang di uleni dengan air hangat, menghasilkan tekstur kenyal yang tetap empuk setelah di rendam kuah panas.
Isian kacang juga punya peran penting. Kacang tanah yang di sangrai sampai wangi, di haluskan kasar bersama gula, sedikit garam, lalu di padatkan sebagai inti, akan memberi kejutan rasa gurih manis saat di gigit. Taburan tambahan seperti kacang sangrai utuh, kolang-kaling yang direbus empuk, sagu mutiara, atau roti tawar harus hadir dalam proporsi ringan, cukup untuk melengkapi tanpa merebut fokus dari duo utama: jahe dan ronde.
Wilayah Nusantara punya cara sendiri menyajikan wedang ronde, tetapi benang merahnya selalu sama kehangatan yang menenangkan.
Ketika mangkuk mendekat, hal pertama yang menyapa adalah uap jahe. Kuah wedang ronde yang baik jernih kecokelatan, tidak terlalu kental, dengan rasa pedas yang “hangat membelai”, bukan “menusuk”. Sensasi jahe seharusnya bertahan di kerongkongan sebagai jejak panjang yang menenangkan. Asam ringan dari jahe dan manis gula aren membentuk profil rasa “rounded” yang utuh. Inilah yang membuat wedang ronde tetap terasa ringan meski diminum malam hari tidak memberatkan, tidak membuat eneg, dan tidak menyisakan rasa dominan berlebih. Baca artikel lainnya di hangatin untuk menemukan lebih banyak bahasan seputar minuman penghangat dan resep beraroma rempah.
Ronde akan mengapung seperti pulau-pulau kecil. Saat disendok, kulitnya lembut tetapi elastis. Gigitan pertama menembus permukaannya dengan sedikit perlawanan yang menyenangkan, lalu luluh pada inti kacang yang garing manis gurih. Kolang-kaling memberi tekstur renyah empuk, kacang sangrai memberi aroma panggang kering, sementara sagu mutiara atau roti tawar hadir sebagai aksen nostalgia. Secara visual, warnanya pun menawan ada semburat merah muda atau hijau pada ronde (dari pewarna alami seperti bit atau pandan), menandakan kreativitas yang tetap menghormati tradisi.
Beberapa warung menghadirkan ronde dengan tekstur lebih lembut, kuah lebih manis, atau isian kacang yang lebih halus. Ada pula yang menambahkan gula batu, atau bereksperimen dengan isian cokelat, tetapi versi ini biasanya disajikan di kedai kekinian. Meski bumbu pelengkap bisa berubah, etika rasa tradisi tetap perlu dijaga: jahe harus tetap jadi pusat gravitasi. Bereksperimen boleh, tetapi jiwa hangat rempahnya tidak boleh lenyap.
Mau membaca inspirasi kuliner lainnya atau beragam cerita hangat dari aneka minuman tradisional, mampir ke sudutinfo.
Wedang ronde adalah bukti bahwa minuman tradisional bisa memadukan rasa pedas manis gurih secara berkelas tanpa kehilangan akar budaya. Kelezatan wedang ronde ditentukan oleh keberanian aroma jahe, keseimbangan manis dari gula aren, kekenyalan adonan ketan, serta inti kacang sangrai yang bermutu. Ia tidak sekadar disesap, tetapi dialami. Semangkuk wedang ronde membangun kehangatan yang panjang, menyatukan cerita berbagai generasi, dan memberi rasa damai pada malam yang sejuk. Tradisi yang membaur ini menjadikan wedang ronde tetap bertahan sebagai minuman penghangat favorit, penanda kebersamaan, sekaligus pengingat bahwa kehangatan sejati selalu dimulai dari kesederhanaan bahan dan ketertiban takaran.