Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an, sering mendapat label negatif, salah satunya antisosial. Mereka tumbuh bersama teknologi, mengenal media sosial sejak kecil, dan terbiasa berkomunikasi lewat layar. Namun, benarkah Generasi Z benar-benar antisosial, atau hanya mengalami pergeseran cara bersosialisasi?
Generasi Z adalah kelompok yang lahir di tengah kemajuan pesat teknologi informasi. Mereka tidak asing dengan internet, smartphone, hingga kecerdasan buatan. Dalam keseharian, Generasi Z sangat akrab dengan komunikasi berbasis teks, emoji, hingga video pendek. Bagi mereka, koneksi virtual bukan pengganti, melainkan bagian dari interaksi sosial itu sendiri.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang banyak berinteraksi secara tatap muka, Generasi Z sering memilih menyapa teman lewat Instagram atau WhatsApp. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran dari generasi yang lebih tua, yang menilai mereka kurang pandai bersosialisasi di dunia nyata.
Namun, penilaian tersebut tak sepenuhnya akurat. Generasi Z tetap menjalin hubungan sosial, hanya saja mereka melakukannya dengan cara yang berbeda.
Label “antisosial” kerap dilayangkan kepada anak muda yang lebih memilih bermain gadget daripada ngobrol langsung. Padahal, antisosial secara psikologis merujuk pada perilaku menyimpang yang bertentangan dengan norma sosial, seperti manipulatif, agresif, atau tidak memiliki empati.
Sebagian besar Generasi Z tidak menunjukkan karakteristik ini. Mereka justru sangat peduli terhadap isu sosial, aktif dalam kampanye digital, dan menyuarakan pendapatnya lewat media sosial. Jika mereka tidak terlalu banyak berbicara di dunia nyata, bukan berarti mereka tidak memiliki empati atau tidak tertarik pada interaksi sosial.
Ingin tahu lebih banyak tentang cara menghadapi tantangan sosial di era digital? Baca juga artikel kami di Sudut Info yang membahas hal ini lebih dalam.
Sebaliknya, banyak dari mereka yang justru merasa lebih nyaman dan percaya diri berkomunikasi secara digital. Inilah bentuk baru dari sosialisasi di era modern.
Sosialisasi digital kini menjadi bagian utama dalam kehidupan Generasi Z. Mereka membentuk komunitas di Discord, mengikuti tren TikTok, atau berdebat soal politik di X (sebelumnya Twitter). Semua itu merupakan bentuk sosialisasi, meskipun tidak dilakukan secara tatap muka.
Generasi Z tak hanya membangun hubungan sosial di dunia maya, tetapi juga memperluas jaringan hingga ke berbagai negara. Melalui teknologi, mereka bertukar budaya, belajar bahasa, dan berdiskusi dengan orang dari latar belakang berbeda. Sesuatu yang sulit dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Namun tentu saja, sosialisasi digital memiliki tantangannya. Ketergantungan pada interaksi online bisa menimbulkan rasa hampa, dan pada kasus tertentu, meningkatkan rasa kesepian.
Meski aktif di media sosial, sebagian Generasi Z menghadapi kecemasan sosial saat berinteraksi langsung. Mereka merasa gugup saat berbicara di depan umum, canggung saat bertemu orang baru, atau takut salah bicara. Kecemasan sosial ini kerap diperparah oleh ekspektasi di dunia maya yang menuntut kesempurnaan.
Ketika mereka terus-menerus membandingkan diri dengan kehidupan sempurna di Instagram atau TikTok, rasa percaya diri bisa merosot. Alhasil, mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial nyata.
Namun penting untuk diingat, kecemasan sosial bukan gejala eksklusif Generasi Z. Setiap generasi pasti memiliki kelompok yang mengalami hal serupa. Bedanya, saat ini masyarakat mulai terbuka membicarakan isu kesehatan mental, termasuk kecemasan sosial.
Jangan lewatkan cerita opini yang menarik lainnya? Kunjungi Ngabari dan temukan cerita opini menarik disana.
Media sosial dan generasi muda kini menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi ruang utama mereka mengekspresikan diri. Mereka bisa menunjukkan bakat, berbagi opini, bahkan mencari penghasilan lewat konten digital.
Namun media sosial juga membawa risiko. Jika digunakan tanpa kontrol, media sosial bisa memicu stres, kecanduan, hingga isolasi. Algoritma yang terus menyodorkan konten serupa juga dapat mempersempit cara pandang, membentuk echo chamber yang membuat Generasi Z kurang terbuka terhadap pandangan berbeda.
Karena itu, literasi digital sangat penting. Generasi muda perlu memahami bagaimana menggunakan media sosial secara sehat, bagaimana menjaga batas pribadi, dan bagaimana tetap menjalin hubungan sosial di luar dunia maya.
Menilai Generasi Z sebagai antisosial hanya karena mereka lebih sering memegang ponsel daripada berbicara langsung adalah pendekatan yang dangkal. Kita justru perlu memahami bahwa cara mereka bersosialisasi telah berevolusi. Sosialisasi digital, meski tidak ideal untuk semua konteks, tetap memberi ruang ekspresi dan koneksi yang luas bagi mereka.
Tantangan yang dihadapi Generasi Z saat ini bukan semata pada interaksi, tapi pada bagaimana mereka bisa seimbang antara dunia digital dan nyata, serta bagaimana mereka bisa menghadapi tekanan sosial yang datang dari layar mereka sendiri.
Sebagai masyarakat yang inklusif, kita harus berhenti menghakimi dan mulai mendampingi. Bukan dengan memaksa, tapi dengan memahami bahwa setiap generasi punya cara sendiri untuk bersuara dan terhubung.