Anggrek potong pernah menjadi simbol keindahan dan kebanggaan florikultura Indonesia. Namun kini, primadona ini mulai kehilangan pesonanya. Sepanjang tahun 2024, petani anggrek di berbagai daerah mencatat penurunan produksi yang signifikan. Sementara negara-negara tetangga semakin agresif memasarkan bunga berkualitas tinggi, Indonesia justru tertinggal dalam inovasi dan kapasitas produksi.
Para petani harus berjuang karena mereka kekurangan alat, kesulitan memperoleh benih, dan menghadapi kenaikan biaya produksi yang terus-menerus. Sayangnya, dukungan dari pemerintah maupun industri belum cukup kuat untuk mendorong perbaikan di tingkat akar rumput.
Kementerian Pertanian melaporkan bahwa Indonesia hanya mampu memproduksi 1,3 juta tangkai anggrek potong sepanjang tahun 2024. Angka ini mengalami penurunan hampir 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Tak hanya itu, luas panen menyusut menjadi 8,53 hektare, menandakan makin banyak petani yang mundur dari budidaya anggrek potong karena tingginya biaya dan rendahnya hasil.
Jawa Barat memproduksi 344 ribu tangkai, disusul oleh Banten yang memproduksi 318 ribu tangkai, dan Kalimantan Barat memproduksi 283 ribu tangkai. Sementara itu, daerah lain belum menunjukkan perkembangan yang berarti.
Meski nilai ekspor anggrek Indonesia naik menjadi US$69 ribu, negara ini tetap mencatat defisit perdagangan. Nilai impor mencapai US$305 ribu, dengan Taiwan, Thailand, dan Vietnam sebagai pemasok utama.
Dari sisi volume, Indonesia mengekspor 10,2 ton ke Korea Selatan dan 3,7 ton ke Singapura, namun mengimpor 273 ton dari Taiwan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan lokal, bahkan hanya untuk konsumsi dalam negeri saja.
Negara-negara pesaing sudah menggunakan kultur jaringan dan teknologi rumah kaca untuk mempercepat siklus tanam dan menjaga kualitas. Sementara itu, sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan metode konvensional dengan peralatan terbatas.
“Kami masih pakai cara lama. Kalau cuaca tidak mendukung, kami gagal panen,” ungkap Wawan, petani anggrek di Subang. Ia mengaku belum pernah menerima pelatihan atau bantuan teknologi dari pemerintah.
Petani juga kesulitan mengakses bibit unggul dan modal usaha. Proses produksi menjadi lambat, tidak efisien, dan kualitas bunga sulit bersaing di pasar ekspor.
Tingginya ongkos produksi, mulai dari bibit, pupuk, hingga kebutuhan logistik, menjadi beban utama bagi petani kecil. Sementara itu, mereka semakin sulit mendapatkan keuntungan karena produk impor yang sudah dikemas secara komersial mampu mengalahkan harga jual anggrek lokal.
“Sekali panen kami bisa habis ratusan ribu untuk pupuk dan pestisida, belum biaya transportasi. Tapi pasar sering menganggap bunga lokal kurang menarik,” keluh Ibu Sulastri, petani di Bogor.
Minimnya program bantuan, ketiadaan koperasi khusus florikultura, dan sulitnya akses pinjaman mikro mendorong banyak petani untuk beralih ke komoditas lain yang lebih mudah dan cepat mereka jual.
Ironisnya, Indonesia menyimpan lebih dari 5.000 jenis anggrek, termasuk spesies langka dan endemik yang hanya tumbuh di wilayah tropis nusantara. Sayangnya, kita belum mengembangkan potensi ini secara sistematis.
Petani dan pelaku usaha belum membudidayakan banyak anggrek lokal dalam skala besar karena mereka masih menghadapi keterbatasan akses, riset, dan pasar. Tanpa dukungan teknologi dan investasi, anggrek Indonesia hanya menjadi potensi yang tak tergarap.
Jika Indonesia ingin mengembalikan kejayaan anggrek sebagai ikon florikultura, maka pemerintah, swasta, dan komunitas petani harus bergerak bersama. Indonesia harus mengadopsi teknologi kultur jaringan, memperluas akses permodalan, menyediakan bibit unggul, dan memperkuat pelatihan budidaya modern.
Kita tidak bisa membiarkan anggrek lokal terus dikalahkan oleh produk impor. Lebih dari sekadar komoditas estetika, anggrek bisa mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif, ekspor non-migas, hingga pariwisata berbasis tanaman hias.
Jika kita tidak segera bertindak, maka bunga kebanggaan ini akan terus merana bukan karena tak cantik, tapi karena kita gagal menjaga dan mengembangkannya.
Yuk, dukung kebangkitan florikultura Indonesia dengan menyebarkan informasi penting ini. Temukan wawasan pertanian dan lingkungan lainnya di SudutInfo.my.id, dan eksplorasi ide agribisnis hijau di Ngabari.my.id.